STUDY
COMPARATION
PARAMITA
MAHAYANA DAN PARAMITA THERAVADHA
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Individu
Mata Kuliah Pengantar Mahayana
Dosen Pengampu:
1. Sutikyanto Sasanaboddhi S.Ag., M.Pd.B.
2. Suharno., S.Ag.,.,M.Pd.B.
Disusun oleh:
Nama: Triyani
NIM: 1408211183
SEKOLAH TINGGI
ILMU AGAMA BUDDHA
(STIAB) SMARATUNGGA
BOYOLALI
2017
KATA PENGANTAR
Namo
Sanghyang Adhi Budhaya
Namo
Budhaya
Puji syukur penulis panjatkan kepada Sang Hyang
Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencapai penerangan sempurna, atas
berkah pancaran cinta kasih dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Study Comparation Paramita Mahayana dan Paramita
Theravadha” sebagai tugas individu dalam
kegiatan perkuliahan Pengantar Mahayana.
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :
1.
Sutikyanto Sasanaboddhi
S.Ag., M.Pd.B
2.
Suharno.,
S.Ag., M.Pd.B.
3. Rekan-rekan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Agama
Buddha Smaratungga yang telah memberikan motivasi.
4.
Pihak-pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Atas bantuan dari berbagai pihak tersebut, karma
baik yang telah di perbuat dapat membuahkan hasil pada kehidupan sekarang
maupun pada kehidupan yang akan datang. Dalam penulisan Makalah ini tentunya
masih terdapat dan jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Sabbe Satta
Bhavantu Sukkitatta
Sadhu Sadhu
Sadhu
Boyolali, 20
Juni 2017
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….. 1
A. Latar
Belakang………………………………………………………..1
B. Rumusan
Masalah…………………………………………………….3
C. Tujuan Penulisan…..……….…………………………………………….. 3
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………….4
A. Paramita Mahayana
..........................................................................................
4
B. Paramita
Theravada ........................................................................................
14
C. Perbandingan Antara
Paramita Mahayana dan Theravada.............................. 16
BAB III
PENUTUP……………………………………………………….. 18
Kesimpulan,,,………………………………………………………..18
DAFTAR
PUSTAKA
..................................................................................
19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika Buddha mencapai Pencerahan Sempurna di bawah pohon
Bodhi, kemudian dua pilihan terbuka.
Yang pertama, menyimpan pengetahuan-Nya dan menikmati kebahagiaan Nirvana bagi
diri sendiri. Yang kedua, terdorong oleh kasih sayang kepada makhluk-makhluk
lain, tetap tinggal di dunia untuk melimpahkan berkah kebijaksanaan-Nya kepada
semua makhluk.
Kemudian munculah aliran utama Agama Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran
Sang Buddha. Mahayana yang dilahirkan di India. Sebagai
tradisi yang masih berada, Mahayana merupakan kumpulan terbesar dari dua
tradisi Agama Buddha yang ada hari ini, yang lainnya adalah Theravada.
Pembagian ini seringkali diperdebatkan oleh berbagai kelompok. Menurut cara
pembagian klasifikasi filosofi Agama Buddha berdasarkan aliran Mahayana. Mahayana
merujuk kepada tingkat motifasi spiritual (yang dikenal juga dengan sebutan
Bodhisattvayana). Berdasarkan
pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau
Shravakayana. Hal ini juga dikenal dalam Ajaran Theravada, tetapi tidak
dianggap sebagai pendekatan yang sesuai. Menurut susunan Ajaran Vajrayana
mengenai pembagian jalur pengajaran, Mahayana merujuk kepada satu dari tiga
jalan menuju pencerahan, dua lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian
pengajaran dalam Agama Buddha Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran Agama
Buddha Mahayana dan Theravada.
Aliran Mahayana bercita-cita mencapai kearahatan, kebutuhan seluruh
manusia untuk mengupayakan pembebasan dari roda kematian dan kelahiran. Namun
yang paling penting dalam Mahayana adalah Pencerahan, kebebasan dari ilusi, dan
aspirasi mencapai ke-Buddhaan, dan ini tidak hanya untuk beberapa bhiksu yang
bijaksana saja, namun juga untuk seluruh makhluk. Sedangkan dalam aliran Theravada pencapaian
kearahatan di capai oleh individu terlebih dahulu, dan selanjutnya membantu
makhluk lain untuk mencapai kebebasan.
Mahayana adalah agama Buddha yang dianut di Asia Utara dan Timur.
semua elemen dalam Mahayana mengarah pada kesempurnaan kerakter. Dalam Hinayana,
para pengikut Buddha diajarkan bukan untuk menjadi Boddhisatva tetapi arahat.
Sedangkan Mahayana ingin menjadikan semua makhluk seperti Sakyamuni, mereka
ingin melimpahkan kebahagiaan dari pencerahan, melenyapkan semua penghalang
yang melintang di antara Kebuddhaan dan kemanusiaan yang umum. Dalam
pencapaiannya seorang Boddhisatva yang ingin mencapai Kebuddhaan harus
mengembangkan 6 keutamaan sempurna (Sad Paramita) yang mleiputi Dana, Sila,
Kshanti, Viriya, Dyana, dan Prajna. Sedangkan dalam Theravada, seorang yang
akan mencapai Pencerahan harus mempraktika 10 keutamaan sempurna (Dasa
Paramita) yaitu Dana, Sila, Nekkhamma, Panna, Viriya, Khanti, Sacca,
Adhitthana, Metta, dan Upekkha.
Paramita Mahayana dan Paramita Theravada adalah jalan untuk mencapai
tujuan yang sama yaitu Pencerahan. Dalam Mahayana hanya terdapat 6 paramita
yang dipraktikan sedangkan dalam Theravada 6 paramita ini dikembangkan lebih
lanjut kedalam 10 paramita. Walaupun jumlahnya berbeda namun pada dasarnya ke
dua parami ini adalah sama dan berhubungan erat. Hal ini karena 10 paramita
Theravada dapat dikelompokkan menurut jenis parami ke dalam 6 paramita
Mahayana.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah dalam makalah ini, sebagai berikut :
1. Apa Saja
Keutamaan Sempurna (Paramita) Dalam Mahayana?
2. Apa Saja
Keutamaan Sempurna (Paramita) Dalam Theravada?
3. Bagaimana Perbandingan
Antara Paramita Dalam Mahayana dan Theravada?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai tugas individu Mata
Kuliah “Pengantar Mahayana” yang
diampu oleh dosen Sutikyanto
Sasanaboddhi S.Ag., M.Pd.B. dan Suharno S.Ag., M.Pd.B. dan tujuan lainnya dari penulisan makalah
ini adalah agar mahasiswa mengetahui dan mengerti tentang :
1. Keutamaan
Sempurna (Paramita) Dalam Mahayana.
2.
Keutamaan Sempurna (Paramita) Dalam Theravada.
3.Perbandingan Antara
Paramita Dalam Mahayana dan Theravada.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Paramita
dalam Mahayana
Konsepsi Mahayana yang pertama adalah Boddhisatva. Seorang Boddhisatva
adalah Buddha yang akan datang dan kita semua dalah calon Boddhisatva. Ada dua
pandangan tantang Boddhisatva, yang pertama dalam pengertiannya yang lebih luas
dan lebih populer sebagai sebutan bagi mereka yang mengambil janji untuk
merealisasikan cita-cita mereka di jalan untuk menuju Kebuddhaan. Yang kedua
sebagai sebutan bagi mereka yang selalu berusaha keras untuk mencerahkan makhluk-makhluk
lain dengan mempraktikkan empat ikrar agung dan paramita-paramita (keutamaan
sempurna). Sakyamuni sendiri dahulunya adalah seorang Boddhisatva. Kisah-kisah
Jataka mengungkapkan cerita-cerita tentang kehidupannya yang lampau sebagai
binatang dan manusia, yang dalam setiap kehidupan selalu mempraktikan kasih sayang
dan bekerja untuk makhluk-makhluk lain.
Dalam Hinayana, para pengikut Buddha diajaran bukan untuk menjadi Boddhisatva
tetapi Arahat, sedangkan Mahayana menjadikan semua makhluk seperti Sakyamuni. Perbedaan besar antara
Arahat dan Boddhisatva ialah bahwa yang pertama bertujuan untuk mendapatkan
pencerahan bagi diri sendiri, sedangkan Boddhisatva ingin menolong semua
makhluk menuju pencerahan sepenuhnya. Untuk melakukan ini, walau sudah memenuhi
syarat, Boddhisatva dengan sukarela meninggalkan Nirvana, dengan tetap tinggal
didunia untuk menolong makhluk, manusia dan binatang.
Langkah pertama dijalan Boddhisatva adalah saat ia mengikrarkan
janji-janji yang menurut Shatideva dalam Bodhicharyawatara-nya,
terdiri dari:
1. Dosa yang terakumulasi di dalam kehidupan-kehidupanku yang
dahulu, yang terakumulasi di dalam semua makhluk, tak terhingga banyaknya dan
besar pengaruhnya. Dengan kekuatan apa ia dapat ditaklukkan jikalau bukan
dengan keinginan untuk mencapai pencerahan, dengan keinginan untuk menjadi Buddha
demi keselamatan manusia? Keinginan yang sama sekali tanpa pamrih ini tak
terhingga keramantnya. Ia menutupi banyak sekali dosa. Ini menjamin kebahagiaan
sepanjang manjalani lingkaran kehidupan. Ini adalah janji tentang kebahagiaan
tertinggi dari para Buddha untuk diri sendiri dan sesama.
2. Saya memuja para Buddha dan Boddhisatva dengan maksud menjalankan
ikrar Pencerahan (vandana). Tanpa
memiliki suatu apapun, mengingat dosa-dosa saya, bagaimana saya dapat
mempersembahkan kepada mereka penghormatan (puja)
yang pantas bagi mereka? Saya memiliki sesuatu. Saya memberikan diri saya
sendiri sepenuhnya dengan kasih sayang yang tulus kepada para Buddha dan
anak-anak mereka, para Boddhisatva yang agung. Saya adalah abdi mereka dan
dengan itu tidak ada lagi bahaya-bahaya yang datang dari dosa-dosa saya.
3. Selain cukup bagi diri saya sendiri, hendaklah saya sepenuhnya
menjadi milik para Buddha dan semua makhluk. Saya bersukacita dengan perbuatan
baik, yang sekaligus mencegah kelahiran kembali dengan kemalangan diantara
manusia biasa. Saya bersukacita atas pembebasan yang dicapai oleh para Arahat.
Saya bersukacita dalam kemuliaan Buddha dan Boddhisatva, yang dimiliki oleh
pelindung dunia (Punyanumodana). Saya
memohon kepada para Buddha untuk mengkhotbahkan Dharma demi keselamatan dunia (adhyesana).
4. Saya ingin menjadi roti bagi mereka yang lapar, minuman bagi
mereka yang dahaga (parinamana). Saya
berikan diri saya, semua yang saya miliki dan yang akan saya miliki dalam
kehidupan-kehidupan saya yang akan datang.
Dalam Mahayana terdapat sepuluh tingkatan Boddhisatva, yaitu:
a. Tingkat Kesucian (Pramudita)
Ia merasa bahagia karena berkat hasil perbuatan-perbuatan dan
meditasinya, ia dilahirkan dalam keluarga Buddha, ia merasa bahagia karena
cinta kasihnya kepada para Buddha dan bahagia karena nyata mengabdikan dirinya,
ia juga bahagia karena semangatnya berniat baik kepada semua makhluk dan ikrar
yang telah dibuatnya.
b. Tingkat Kemurnian (Vimala)
Tingkatan ini didapatkan oleh Boddhisatva dengan mempraktikan moralitas.
Boddhisatva tidak hanya hidup menurut peraturan-peraturan, tetapi juga
mendorong orang lain untuk berbuat demikian, melalui ajaran dan contoh. Di sini
Boddhisatva menapak di Jalan Mulia Berunsur Delapan.
c. Tingkat Kecermelangan atau Bercahaya (Prabhakari).
Boddhisatva merenungkan hakikat dari segala sesuatu dan melatih
kesabaran, yang sesungguhnya berarti menahan diri berhadapan dengan orang-orang
dan berbagai hal menurut apa adanya. Kesabaran dan menahan diri merupakan salah
satu kebajikan Buddhis yang utama.
4. Nyala Berkobar (Arcismati)
Ini adalah tingkat yang harus dijalankan dengan mempergunakan
energi yang terbesar.
5. Tingkat Sulit Ditaklukkan (Sudurjaya)
Pada tingkatan ini meditasi yang paling dominan. Boddhisatva
memberikan contoh tentang efisiensi dan pentingnya meditasi. Melalui meditasi
kita dapat memahami kebenaran yang membimbing penguasaan Prajna (pengetahuan
transendental).
6. Tingkat Mencapai Pembebasan (Abhimukti)
Tingkatan ini di capai setelah melalui tingkatan ke lima. Boddhisatva
merupakan makhluk yang sangat tinggi, begitu tingginya sehingga pikiran yang
biasa dan relatif tidak dapat mengikutinya.
7. Tingkat Berjalan Jauh (Durangama)
Tingkatan ini mencakup segenap pencapaian dari enam tingkatan
sebelumnya, dan membuat inteligensi Boddhisatva berkembang sempurna.
8. Keteguhan atau Tak Tergoyahkan (Acala)
Keteguhan atau Tak Tergoyahkan mempunyai ciiri yaitu memiliki pengetahuan
tinggi Anutpattikadharmaksanti. Ini
merupakan ketulusam dalam perbuatan, sifat keilahian, suatu keadaan dari
kesadaran yang di dalamnya tidak ditemukan konsepsi. Dengan demikian
Boddhisatva sudah melenyapkan ide tentang dualitas. Tingkatan ini membuka jalan
untuk mencapai tingkat kesembilan.
9. Tingkat Keluhuran (Sadhumati), tingkatan ini dicapai setelah
Boddhisatva berada pada tingatan ke
delapan.
10. Tingkat Penabur Kebenaran (Dharmamegha)
Merupakan tingkat tertinggi. Di sini Boddhisatva merealisasikan
Samadhi yang terakhir dan para Buddha menahbiskannya.
Bakal Buddha bercita-cita menjadi Boddhisatva yang sempurna, dan dia
dapat mencontoh Boddhisatva di tingkat-tingkat yang lebih rendah. Di tingkat
pertama ia dapat mengambil langkah yang pertama. Setiap siswa dalam Mahayana
yang bercita-cita menjadi Buddha, tidak harus menjadi seorang biksu. Di mana
pun berada apabila memiliki tekad dan dapat berikrar di hadapan guru
spritualnya. Dipenuhi dengan cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk.
Seperti Buddha Gotama, sebelum menjadi Buddha, dalam kehidupannya Beliau
selalu menyempurnakan diri dan mengabdikan hidupnya demi kebahagiaan semua
makhluk apapun. Mereka tidak akan merasa bahagia kalau ada makhluk lain yang
mengalami penderitaan. Berbagai upaya mereka lakukan agar makhluk-makhluk yang
menderita dapat diringankan dari beban penderitaan atau terlepas dari Roda
Samsara. Sehingga dapat mencapai kesucian mutlak.
Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang diuraikan pada halaman sebelumnya, dapat
dikelompokkan menjadi 3 bagian utama, yaitu: Sila, Samadhi dan Prajna. Dalam
Buddhisme Mahayana, dikembangkan lebih lanjut menjadi Enam Paramita (Sad Paramita) atau Enam Perbuatan
Luhur, dan merupakan ajaran pertama yang dilakukan oleh para Bodhisattva untuk
mencapai pandangan Buddha yang tidak terbatas yaitu Cinta Kasih (maitri/metta), Kasih Sayang (karuna), Simpati (mudita) dan Keseimbangan Batin (upeksa/upekkha).
Dengan demikian tindakan seorang Bodhisattva haruslah benar-benar terlepas
dari semua kepentingan atau kebanggaan pribadi, tanpa ikatan, tanpa batas,
tanpa henti dan tanpa perbedaan dalam membantu semua makhluk yang memerlukan
pertolongan. Tindakan seorang Bodhisattva, dapat disamakan dengan matahari yang
menyinari bumi ini, tanpa membeda-bedakan, tanpa ikatan, tanpa batas, tanpa
henti, dan tidak pernah membanggakannya atau mengakui pahalanya.
Adapun dalam pelaksanaan paramita
ini dapat dibagi dalam tiga tingkatan sebagaimana tersebut dalam Lankavatara
Sutra, yaitu :
I. Tingkat Biasa merupakan suatu pelaksanaan paramita dengan harapan untuk
memperoleh pahala baik pada masa kehidupan saat ini maupun pada kehidupan
berikutnya.
II. Tingkat Luar biasa,
merupakan suatu pelaksanaan paramita dengan tujuan untuk mencapai nirvana,
untuk tidak dilahirkan kembali.
III. Tingkat Tertinggi, merupakan suatu pelaksanaan paramita oleh para
Bodhisattva dalam usahanya untuk menyelamatkan semuat makhluk dari lingkaran
penderitaan (samsara).
Enam Paramita terjalin sebagai satu kesatuan, karena pengaruh dari ajaran
Asanga (pendiri Yogacara) sebagaimana disebutkan dalam Mahayana Sutralankara
dengan urutan : dana-sila-ksanti-virya-dhyana-prajna
1. Dana Paramita
Dana Paramita merupakan perbuatan luhur tentang beramal, berkorban
baik materi maupun non-materi. Dana paramita ini dapat digolongkan lagi atas :
Dana, Atidana (yang lebih tinggi) dan Mahatidana (yang tertinggi). Para
penerima Dana dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu
a) Dana kepada teman dan keluarga
b) Dana kepada yang membutuhkan, yang miskin, yang menderita dan
yang tidak berdaya
c) Dana kepada para bhikshu/bhikkhu dan para brahmana (orang suci
Hindu). Dana yang diberikan adalah merupakan milik kekayaan.
Dana yang dapat dilakukan orang-orang biasa, baik yang hidup
berkeluarga (umat biasa dan Upasaka-Upasika) maupun yang hidup tidak
berkeluarga (bhikkhu-Bhikkhuni) adalah:
1. Atidana adalah merupakan suatu pemberian dana dimana merupakan
miliknya yang terakhir dengan tujuan pemupukan kebajikan untuk mengatasi
kemelekatan terhadap rasa cinta yang dapat dianggap sebagai penghambat menuju
jalan Kebuddhaan, sehingga menimbulkan kepribadian yang luhur. Contoh
pelaksanaan Atidana dikisahkan dengan baik dari cerita Raja Visvantara yang
dikutip dari Jatakamala dan Avadana Kalpa Lata.
2. Amisedana, yaitu dana dalam
bentuk materi (benda) yang kita berikan kepada orang-orang yang membutuhkan,
misalnya uang, keperluan hidup dan makanan.
3. Dhammadana, yaitu dana
dalam bentuk bathin, memberikan khotbah Dhamma, memberikan nasehat-nasehat
kepada seseorang sesuai dengan Ajaran Sang Buddha. Menurut kitab suci Prajna
Paramita dikatakan, bahwa pemberian Dhamma melebihi segala macam pemberian
lainnya.
4. Dana yang dapat dilakukan
oleh orang-orang suci, yakni Sotapanna, Sakadagami, Anagami, Arahat dan
Bodhisattva adalah:
5. Manatidana, Pengorbanan
jiwa-raga seseorang untuk kepentingan/ kebahagiaan orang (makhluk) lain yang
sedang menderita. Misalnya dalam cerita dongeng mengenai Bodhisattva
Avalokitescara dan pada cerita Jataka.
Dalam berdana ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan :
a. Pikiran Ikhlas, senang dan bahagia. Dalam Dharma disebutkan ada 3
(tiga) kondisi yang harus diperhatikan, yaitu sebelum memberi, saat memberi dan
setelah pemberian tersebut dilakukan hendaknya pikiran bersih, penuh keikhlasan
dan tidak ada penyesalan. Minimal dari tiga kondisi tersebut setelah memberi
kita harus bahagia dan tidak boleh menyesal atas apa yang telah kita lakukan. Kalau
sebelum memberi kita bahagia, saat memberi kita bahagia namun setelah memberi
kita menyesal. Hal ini seperti orang yang hidup pada masa kecil dia mengalami
kebahagiaan, saat remaja/ dewasa pun dia tetap bahagia. Namun memasuki usia tua
dia mengalami penderitaan dan tidak bahagia.
b. Barangnya harus bersih, barang tersebut diperoleh dengan cara
sesuai dengan Dharma dan bersih dari segala tindakan melawan hukum atau
merugikan makhluk lain. Kadang ada orang yang punya kemauan memberi namun
barangnya dari hasil mata pencahariaan yang salah, seperti barang hasil
pencurian. Ini pun bukan dana yang bersih.
c. Berdana kepada orang suci. Berdana kepada orang yang suci, nilai
kebajikannya lebih tinggi ketimbang orang biasa. Dalam ukuran kebaikan
disebutkan bahwa berdana kepada hewan kebajikannya 100 kali, berdana kepada
manusia memiliki moral tidak baik 1.000 kali lipat. Dana diberikan kepada
manusia yang bermoral 100.000 kali lipat. Jasa kebaikannya akan terus melipat
100 kali sampai pada berdana kepada Buddha.
2. Sila Paramita
Sila Paramita merupakan perbuatan luhur tentang hidup bersusila,
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik oleh badan (kaya), ucapan (vaci), dan pikiran (citta).
Pelaksanaan Sila Paramita merupakan pelengkap dari seorang Bodhisattva yang
telah melaksanakan Dana Paramitha. Pelaksanaan Sila Paramita ini dapat
diumpamakan kaki ataupun mata, tanpa
kaki maka seseorang akan terjatuh ke dalam bentuk kehidupan yang penuh
kejahatan, ataupun tanpa mata maka seseorang tidak akan dapat melihat Dharma.
Terdapat tiga pengertian dalam menguraikan Sila Paramita, yaitu Kebajikan moral
secara umum yang mana kepribadian menganggumkan merupakan ciri utamanya, Kebajikan
moral yang dikaitkan dengan suatu cita-cita penyucian yang direalisasikan
melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan, Kebajikan moral yang dikaitkan dengan
lima ajaran moral (Pancasila Buddhis) dan sepuluh jalan tindakan yang baik dan
bermanfaat dan merupakan latihan moral kebajikan bagi umat awam.
Pelaksanaan Sila merupakan suatu usaha seorang Bodhisattva untuk
memusnahkan seluruh tiga akar kesengsaraan atau tiga racun dunia, yaitu: raga
yang dapat dianggap sebagai persamaan kata lobha yaitu hawa nafsu, gairah,
kesenangan perasaan. dvesa (dosa) yaitu kebencian, keinginan buruk moha yaitu
kebodohan batin, khayalan, kebingungan mengenai pikiran.
Dalam melatih Sila Paramita, maka terdapat sepuluh pantangan yang
harus dijalankan seorang Bodhisattva, yaitu : Pantang membunuh makhluk hidup,
pantang mencuri, pantang dari ketidak-sucian, pantang berbicara bohong, pantang
memfinah, pantang berbicara kasar, pantang terhadap kesembronoan dan berbicara
yang tidak berarti, pantang terhadap sifat iri hati, pantang terhadap sifat
dengki, pantang dari pandangan salah.
3. Ksanti Paramita
Ksanti merupakan suatu perbuatan luhur tentang kesabaran. Ksanti
Paramita mencakup tiga pengertian, yaitu, kesabaran, ketabahan, dan ketulusan
hati. Seorang Bodhisattva haruslah melatih kesabaran karena ketidaksabaran akan
mudah menimbulkan kemarahan dimana dapat menghancurkan semua pemupukan
kebajikan yang telah terhimpun. Ketidaksabaran dalam bertindak sering
menenggelamkan kita dalam lautan penderitaan yang menyebabkan penyesalan yang
berkepanjangan.
Bakal Buddha tidak pernah mengembangkan kemarahan, tidak sabar,
atau bergejolak atas apa yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh, karena dia
selalu menyadari dengan pikirannya bahwa semua persoalan pasti bertolak dari
sebab-sebabnya.
4. Virya Paramita
Virya Paramita merupakan perbuatan luhur mengenai keuletan,
ketabahan dan semangat. Untuk menapak Jalan diperlukan semangat dan usaha yang
tekun, tidak memberikan kesempatan pada kelemahan dan keputusasaan, tidak
menjadi terikat pada kesenangan-kesenangan duniawi, dan tetap menjaga kuat
kebulatan tekadnya. Terdapat dua macam Virya, yaitu : Sannaha-virya, yang dapat
diartikan memakai perisai dalam arti mempersiapkan diri terhadap berbagai
godaan. Prayoga-virya, yang dapat diartikan dengan ketekunan dan kesungguhan dalam
pelaksanaan ajaran Sang Buddha .
5. Dhyana Paramita
Merupakan melatih ketenangan pikiran, perenungan atau meditasi. Agama
Buddha memiliki banyak sistem meditasi dalam Mahayana khususnya. Metode apapun
yang dipilih bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan murni, yang akan menolong
kita menempuh perjalanan dan mempersiapkan untuk merealisasikan Paratmasamata, pengetahuan tentang
persamaan diri sendiri dan sesamanya dan menukar diri sendiri dengan sesamanya,
yang sesungguhnya merupakan realisasi dari ketiadaan-ego dan kemanunggalan
Dharmakaya.
Terdapat 4 jenis Dhyana sebagaimana dinyatakan dalam ajaran
Yogacara, Lankavatara Sutra, yaitu :
a) Balopacarika Dhyana,
dhyana yang dilakukan oleh Sravaka dan Pratyeka Buddha dengan merenungkan
tentang ketidak-kekalan dari sifat ke-aku-an.
b) Artapravicaya Dhyana,
dyana yang dilaksanakan oleh para Bodhisattva yang telah mengerti hakekat
Keberadaan dari alam semesta.
c) Tathatalambana Dhyana; dhyana yang terdiri dari pengkajian atas
Keberadaan dari Kebenaran serta merenungkannya.
d) Tathagata Dhyana; dhyana yang dilaksanakan oleh para Tathagata
yang telah mengetahui Pengetahuan yang Tertinggi dan selalu bersedia untuk
mengabdi kepada semua makhluk.
6. Prajna Paramita
Prajna Paramita merupakan Paramita yang terpenting; yaitu perbuatan
luhur mengenai Kebijaksanaan. Prajna
paramita merupakan keutamaan yang tertinggi, meskipun untuk mencapainya semua
paramita yang lain harus dilaksanakan bersama-sama. Memiliki paramita ini
sacara lengkap sama dengan mencapai Nirvana.
Terdapat dua makna dalam Prajna, yaitu : (1) Prajna yang kekal. (2)
Prajna yang berfungsi sejalan dengan ke lima Paramita lainnya. Usaha
pengembangan prajna ini terdapat tiga jalur yang mengarah kepada suatu
pendalaman (intuisi) dan pengetahuan, yaitu : berdasarkan ajaran orang lain
atau kitab suci tertulis ataupun lisan (sutamaya
panna), berdasarkan pemikiran yang mendalam (cintamaya panna), dan berdasarkan meditasi pengolahan dan
realisasi (bhavanamaya panna).
Selain Enam Paramita tersebut di atas, terdapat juga Empat Paramita
tambahan, yaitu :
1. Upaya-Kausalya Paramita, merupakan kemahiran dalam perbuatan atau
adaptasi dari usaha usaha untuk perubahan guna memberikan pertolongan secara
luhur
2. Pranidhana Paramita, yaitu aspirasi atau resolusi luhur
3. Bala Paramita, yaitu kekuatan atau kemampuan luhur
4. Jnana Paramita, yaitu pengetahuan luhur
Dari keempat paramita yang paling penting adalah Upaya. Boddhisatva
dikatakan menggunakan setiap cara atau jalan yang sangat memungkinkan untuk membimbing makhluk-makhluk menuju
pencerahan. D.T Suzuki dalam Outlines of
Mahayana Buddhism menjelaskan bahwa Upaya berarti jalan yang berguna
sekali, taktik, alat, atau keterampilan yang mempunyai pengertian teknis dalam
agama Buddha.
Untuk mencapai Bodhi, Bodhisattva selain melaksanakan dan
menyempurnakan Paramita juga melaksanakan 37 faktor, yang merupakan keseluruhan
Ajaran Sang Buddha (Bodhipakkhiyadhamma),
yaitu:
·
Empat Dasar Perhatian Benar (Satipatthana)
·
Empat Usaha Benar (Sammapadhana)
·
Empat Jalan Penguasaan atau Keberhasilan
(Iddhipada)
·
Lima indera (Indriya)
·
Lima kekuatan mental (Bala)
·
Tujuh faktor Penerangan Agung (Bojjhanga)
·
Delapan Faktor Jalan Utama (Asta Ariya
Atthangika Maggha)
Dengan menempuh dan menyempurnakan Dharma ini semua, Bodhisattva
ini akan bergelar Mahasattva, mencapai Tingkatan Dasa Bhumi sebagai Megha
Dharma sampai akhirnya mencapai Anuttara SamyakSamBuddha. Demikianlah Mahayana
yang telah ditunjukkan dan telah dibuktikan sendiri oleh Sang Tathagata.
Mahayana merupakan Yana Tunggal yang menjadi alasan utama kemunculan Para
Tathagata, yakni mengajar Para Bodhisattva dan memang demikianlah adanya.
B. Paramita dalam Theravada
Dasa Paramita berasal dari kata Dasa dan
Paramita, dasa artinya sepuluh, sedangkan Paramita berasal dari istilah Parami
dari kata parama yang artinya menyatakan pada kesucian, pelaksanaan yang mulia
atau agung. Paramita merupakan faktor yang perlu dikembangkan untuk mencapai
kesucian. Semua Buddha, sebelum mereka mencapai kebuddhaan, melaksanakan
paramita ini dengan sempurna. Kesepuluh Paramita dalam Theravada, antara
lain:
1. Dana-Paramita adalah
kesempurnaan beramal.
Dana ini dibagi menjadi empat yaitu 1) Amisedana adalah dana yang
diberikan dalam bentuk materi, atau barang seperti uang, pakaian, bahan
kebutuhan pokok, dsb, 2) Dhammadana yaitu beramal kebajikan yang diberikan
dengan melaksanakan dan memberikan penerangan dhamma melalui kotbah.
Dhammadesana merupakan amal kebajikan atau dana yang tertinggidan paling besar
jasa dan pahalanya. Buddha bersabda “Sabbadanam Dhammadanam Jinati” artinya
pengorbanan dan amal kebajikan yang tertinggi adalah persembahan kebenaran
dhamma. 3) Atidana yaitu mengorbankan ke kepentingan diri sendiri untuk
mencapai cita-cita yang luhur, demi kepentingan umat manusia, contohnya usaha
Pangeran Siddharta. 4) Mahatidana yaitu amal kebajikan berupa pengorbanan
jiwa dan raga untuk mencapai cita-cita
luhur, contohnya para pahlawan. (donor darah, ginjal, kornea mata, sum-sum
tulang).
Seseorang rela dan ikhlas membantu siapa saja yang membutuhkan,
dengan penuh tekad dan berkata “Semoga aku senantiasa mencari siapa yang bisa
kubantu. Semoga aku memberi untuk mengikis keAkuan.
2. Sila-Paramita adalah kemoralan, hidup dengan melaksanakan sila,
hidup bersusila, melakukan perbuatan, ucapan dan mata pencaharian benar.
Ada beberapa tingkatan sila, sesuai dengan orang yang
melaksankannya, yaitu Pancasila Buddhis yaitu sila yang dilaksanakan oleh
upasaka dan upasika dalam kehidupan sehari-hari. (sila umat awam), Atthasila
yaitu sila yang dilaksanakan oleh upasaka dan upasika pada hari-hari tertentu
contohnya pada bulan gelap dan bulan terang, tanggal 1 dan 15 menurut lunar
kalender. Dasasila dan Majjhimmasila yaitu sila yang dijalankan oleh Samanera
dan Samaneri. Patimokhasila yaitu sila utama yang tertinggi tingkatannya
dibadingkan sila lainnya.
Menurut naskah pali, bagi mazab Theravada terdiri dari 227 sila dan
menurut naskah sansekerta, untuk Bhikkhu mazab Mahayana terdiri dari 250 Sila. Seseorang
yang melaksanakan sila harus mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga
aku santun dan tidak merugikan pihak lain. Semoga aku terkendali dalam pikiran,
perkataan, dan perbuatan”.
3. Nekkhamma-Paramita adalah kesempurnaan
melatih penolakan, yaitu penolakan napsu indera.
Sebagai umat Buddha sedapat mungkin mengendalikan indria kita.
Nafsu kalau di turuti tidak ada puas-puasnya. Mengendalikan mata, mengendalikan
telinga dan sebagainaya. Seseorang yang melatih penolakan harus mengatakan
dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku mengutamakan kepentingan pihak
lain. Semoga aku tak lekat pada yang buruk maupun pada yang baik”.
4. Panna-Paramita adalah kesempurnaan
melatih kebijaksanaan.
Kebijaksanaan untuk mengetahui sebab
dan akibat, mengerti keadaan dan sesuatu berdasarkan kebenaran. Melihat proses
kehidupan ini dengan bijak, misalnya melihat keadaan diri kita atau orang lain
yang menderita tanpa menyalahkan siapapun.
Seseorang yang melatih kebijaksanaan harus mengatakan dalam hati
dan penuh tekad bahwa “Semoga aku penuh kesadaran dan pemahaman jernih. Semoga
aku piawai dalam membantu pihak lain”.
5.Viriya-Paramita adalah kesempurnaan melatih
usaha (semangat).
Berusahan dengan sekuat tenaga, tidak takut akan rintangan.
Rintangan adalah sebagai cambuk untuk maju. Semangat adalah modal untuk
menjalani hidup ini, bekerja keras. Seseorang yang melatih usaha semangat harus
mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku giat berjuang untuk
mencapai tujuan mulia. Semoga aku tak gentar menghadapi segala rintangan”.
6. Khanti-Paramita adalah
kesempurnaan melatih kesabaran.
Sabar dalam menghadapi
segala sesuatu. Mampu mengendalikan pikiran, sehingga kita bebas dari kekotoran
batin. Seseorang yang melatih kesabaran harus mengatakan dalam hati dan
penuh tekad bahwa “Semoga aku mampu menanggung kekeliruan pihak lain. Semoga
aku melihat sisi baik dari segala sesuatu”.
7. Sacca-Paramita adalah
kesempurnaan melatih kebenaran (kata-kata, perbuatan, dan pikiran).
Seseorang yang melatih kebenaran ini harus mengatakan dalam hati
dan penuh tekad bahwa “Semoga aku tidak menyembunyikan kebenaran. Semoga aku
tulus dan dapat dipercaya”.
8. Adhitthana-Paramita adalah
kesempurnaan melatih kehendak dengan mantap (memutuskan sesuatu dan selesai
berbuat sesuatu pada waktunya).
Seseorang yang melatih kehendak dengan mantap ini harus mengatakan
dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku terus berpegang teguh pada
kebenaran. Semoga aku lembut bagai bunga dan kokoh bagai karang”.
9. Metta-Paramita adalah kesempurnaan
melatih cinta-kasih.
Dimana cinta kasih tanpa keinginan
memiliki, cinta kasih yang ditujukan kepada semua makhluk (31 alam kehidupan)
tanpa membedakan bangsa, ras, agama dan sebagainya (cinta kasih yang
universal). Seseorang yang melatih cinta kasih harus mengatakan dalam
hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku mengasihi tanpa pilih kasih. Semoga aku
bahagia dan membawa kebahagiaan bagi pihak lain”.
10. Upekkha-Paramita adalah kesempurnaan melatih keseimbangan batin.
Menjaga batin agar tak tergoyahkan,
batin yang terarah pada kebenaran Dhamma. Titik keseimbangan, tidak terpengaruh
pada hal yang positif maupun yang negatif. Seseorang yang melatih
keseimbangan batin harus mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga
aku memperlakukan semua makhluk dengan setara. Semoga aku teduh dan seimbang
dalam segala keadaan”.
C. Perbandingan Antara Paramita Mahayana dan Theravada
Telah dijelaskan di atas bahwa untuk mencapai Pencerahan seseorang
harus mempraktikan paramita-paramita (keutamaan sempurna) dalam menjalani
kehidupan. Dalam Mahayana terdapat 6 paramitta sedangkan dalam Theravada
terdapat 10 paramita. Kedua paramitta Mahayana dan paramita Theravada adalah
cara atau jalan dengan tujuan yang sama yaitu mencapai Pencerahan. Hanya saja
jumlah atau banyaknya cara yang harus dilaksanakan berbeda.
Dalam Theravada, Boddhisatva yang ingin mencapai Pencerahan, ia
menolong dirinya sendiri terlebih dahulu yang kemudian membantu makhluk-makhluk
lain untuk mencapai Pencerahan. Sedangkan Mahayana, Boddhisatva menolong
makhluk-makhluk lain dan membawa mereka menuju pencerahan sepenuhnya. Sehingga
Boddhisatva dengan sukarela meninggalkan Nirvana dan tetap tinggal di dunia
untuk menolong semua makhluk, manusia dan binatang.
Paramita Theravada merupakan pengembangan yang lebih luas dari
paramita Mahayana. Paramita Mahayana meliputi Dana, Sila, Kshanti, Viriya, Dyana,
dan Prajna. Sedangkan paramita Theravada meliputi Dana, Sila, Nekkhamma, Panna,
Viriya, Khanti, Sacca, Adhitthana, Metta, dan Upekkha. Sila-Paramita dalam
Mahayana merupakan ringkasan sifat luhur dari pengembangan Nekkhamma, Panna dan
Sacca dalam Paramita Theravada. Hal ini karena penolakan nafsu-nafsu indera
(Nekkhamma) dapat dilakukan dengan menjalankan sila yang sempurna dan secara
otomatis akan melatih kebenaran baik dalam ucapan, tindakan maupun pikiran
seperti dalam Pancasila Buddhis maupun Atthanga Sila. Setelah menjalankan sila
maka kebijaksanaan (Panna) pun juga akan ikut terlatih.
Dalam Adhitthana-Paramita Theravada dapat dimasukan lebih rinci ke
dalam Viriya Paramita Mahayana. Viriya adalah semangat dan usaha yang tekun,
tidak memberikan kesempatan pada kelemahan dan keputusasaan dan menjaga
kuat-kuat kebulatan tekadnya. Sedangkan Adhitthana adalah kesempurnaan melatih
kehendak dengan mantap. Sehingga arti dari kedua paramita ini adalah sama.
Sedangkan Dyana Paramita Mahayana dapat dikembangkan menjadi Metta-Paramita dan
Upekkha-Paramita Theravada. Dyana adalah perenungan dan meditasi, yang mana
dalam meditasi terdapat banyak sekali obyek meditasi salah satunya adalah Empat
appamanna (keadaaan yang tidak terbatas) yang meliputi
:
a. Metta
adalah cinta kasih yang universal
b. Karuna adalah belas kasih
c. Mudita adalah perasaan simpati
d. Upekkha adalah keseimbangan batin
Sehingga seorang Boddhisatva dapat mengembangkan Dhyana paramita ke dalam
obyek perenungan atau meditasi yaitu Metta dan Upekkha. Jadi ke 10 parami dalam
Theravada dapat dikelompokan kedalam parami masing-masing dalam Mahayana.
Dijelaskan juga bahwa motif dan dasar bagi seseorang menjadi calon
Buddha/ Bodhisatta adalah Mahakaruna dan Upaya-kosala
(upaya-kausalya/kemahiran). Maka dalam Mahayana ditemukan 4 paramita lagi:
a.
Upaya-kausalya paramita;
b.
Pranidhana paramita;
c.
Bala paramita;
d.
Jnana paramita.
Jadi, sebenarnya 10 paramita baik dalam Ttheravada maupun Mahayana tidaklah
bertentangan sama sekali karena terbukti berhubungan erat dan dapat saling
menjelaskan satu sama lain.
10 Parami ini dikatakan sebagai pendukung dan penyebab seseorang
mencapai Swasyambhu-nana
(kemahatahuan), sehingga memungkinkan dirinya satu saat nanti mencapai
pembebasan dengan usaha sendiri, tanpa seorang guru (arahat sammasambuddha). Dan untuk mencapai ke-Buddhaan diperlukan
penyempurnaan parami ini selama minimal 4 asankheya dan 100.000 kappa.
Dalam Theravada, proses perjalanan Bodhisatva diukur dengan 10
parami itu, yang disempurnakan satu-per-satu sesuai urutannya. Sedang dalam Mahayana,
dikenal Dasa-Bodhisattva-Bhumi (10
tingkat ke-Bodhisattvaan) bahkan dalam Shurangama
sutra ada tahap-tahap sebelum dasa-bhumi yang totalnya berjumlah 52 tahap
(42 + dasa bhumi).
Mahayana berpendapat proses ini minimal 3 asankheya dan 100.000
kalpa, 1 asankheya pertama untuk mulai dari nol mencapai puncak Bhumi-pertama,
asankheya kedua untuk Bhumi ke-2 sampai Bhumi ke-8, dan asankheya ke-3 untuk
sampai Bhumi ke-10, 100.000 kalpa untuk melengkapi ke-32 ciri-fisik agung dan
80 tanda-minor.
Namun, secara waktu "relatif". Bagi Bodhisattva, 1
asankheya kalpa dapat menjadi 1 minggu bahkan 1 hari dan 1 hari menjadi (sama
seperti) 1 asankheya. Shurangama sutra mengatakan, bila kita dapat melihat
hakikat sejati kita, bahwa pikiran ini pada dasarnya adalah Buddha, maka tidak
perlu asankheya kalpa, kita dapat mencapai ke-Buddhaan dengan lebih cepat.
Lebih lengkap lagi, teknik mencapai kebuddhaan dalam 1 kehidupan,
yang merupakan teknik rahasia, dijabarkan dalam ajaran Vajrayana atau Tantra. Namun
tidak semua praktisi Tantra mencapai keBuddhaan dalam 1 kehidupan, jarang
sekali ada yang bisa. Pada kenyataannya mereka pada kehidupan sebelumnya sudah
mulai memupuk karma baik, bahkan mengumpulkan parami.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan
isi makalah maka penyusun dapat mengambil kesimpulan bahwa Paramita (Keutamaan Sempurna) merupakan cara atau jalan untuk melenyapkan dukha yang terdiri dari jalan beruas
delapan. Dalam Mahayana terdapat 6
sifat luhur (sad paramita) yang harus selalu dipraktikan bagi seorang
Boddhisatva. Tujuan Agama Buddha Mahayana adalah pencerahan batiniah yang
melampaui keduniawian, tanpa pencerahan sama seperti orang buta yang sedang
meraba-raba kegelapan. Dan ketika pencerahan terjadi, belas kasih mengalir
keluar, manusia pasti belajar mencintai sesamanya. Sehingga untuk mencapai
pembebasan, Boddhisatva menolong dan membantu makhluk lain dan kemudian
menolong dirinya sendiri. Sedangkan dalam Theravada, Boddhisatva menolong diri
sendiri terlebih dahulu baru kemudian menolong makhluk lain. Untuk mencapai Pencerahan, Boddhisatva harus
mempraktikan 10 sifat luhur (Dasa Paramita).
Jadi pada dasarnya jalan atau cara yang harus dipraktikan bagi
seorang Boddhisatva untuk mencapai Pencerahan adalah sama, baik dalam paramita
Mahayana dan paramita Theravada. Parami dalam kedua aliran ini tidaklah
bertentangan sama sekali karena terbukti berhubungan erat dan dapat saling
menjelaskan satu sama lain.
B.
Saran
Demikianlah makalah ini
ditulis sesuai dengan referensi yang telah penyusun peroleh, diharapkan setelah
membaca dan mempelajari makalah ini para pembaca dapat memahami dan mengetahui
bahkan mendapat wawasan yang lebih luas mengenai perbandingan antara paramita Mahayana
dan paramita Theavada.
DAFTAR PUSTAKA
Hustiati, Wijaya Mukti, Krisnanda. 2009. Agama Buddha Mahayana. Beatrice Lane Suzuki
Priastana Jo, Dhammasukha. 1999. Pokok-Pokok Dasar Mahayana. Jakarta: Yayasan Yasodhara Puteri
Vinara, 2008. Keyakinan
Umat Buddha. Jakarta: Cv. Santusita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar