Minggu, 18 Juni 2017

Study Comparation Paramita Mahayana dan Theravada

STUDY COMPARATION
PARAMITA MAHAYANA DAN PARAMITA THERAVADHA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah Pengantar Mahayana

Dosen Pengampu:
1. Sutikyanto Sasanaboddhi S.Ag., M.Pd.B.
2. Suharno., S.Ag.,.,M.Pd.B.

logo oke1 









Disusun oleh:
Nama: Triyani
NIM: 1408211183

SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA BUDDHA
 (STIAB) SMARATUNGGA
BOYOLALI


2017
KATA PENGANTAR

Namo Sanghyang Adhi Budhaya
Namo Budhaya
Puji syukur penulis panjatkan kepada Sang Hyang Adi Buddha Tuhan Yang Maha Esa yang telah mencapai penerangan sempurna, atas berkah pancaran cinta kasih dan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Study Comparation Paramita Mahayana dan Paramita Theravadha” sebagai tugas individu  dalam kegiatan perkuliahan Pengantar Mahayana.  Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada :

1.      Sutikyanto Sasanaboddhi S.Ag., M.Pd.B 
2.      Suharno., S.Ag., M.Pd.B.
3.      Rekan-rekan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Smaratungga yang telah memberikan motivasi.
4.      Pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Atas bantuan dari berbagai pihak tersebut, karma baik yang telah di perbuat dapat membuahkan hasil pada kehidupan sekarang maupun pada kehidupan yang akan datang. Dalam penulisan Makalah ini tentunya masih terdapat dan jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Sabbe Satta Bhavantu Sukkitatta
Sadhu Sadhu Sadhu
Boyolali,  20 Juni 2017

       

             Penulis



DAFTAR ISI

BAB I  PENDAHULUAN………………………………………………….. 1
       A. Latar Belakang………………………………………………………..1
       B. Rumusan Masalah…………………………………………………….3
 C. Tujuan Penulisan…..……….…………………………………………….. 3
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………….4
A.  Paramita Mahayana .......................................................................................... 4
B.  Paramita Theravada ........................................................................................ 14
C.  Perbandingan Antara Paramita Mahayana dan Theravada.............................. 16

BAB III PENUTUP……………………………………………………….. 18
Kesimpulan,,,………………………………………………………..18
            DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 19




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika Buddha mencapai Pencerahan Sempurna di bawah pohon Bodhi,  kemudian dua pilihan terbuka. Yang pertama, menyimpan pengetahuan-Nya dan menikmati kebahagiaan Nirvana bagi diri sendiri. Yang kedua, terdorong oleh kasih sayang kepada makhluk-makhluk lain, tetap tinggal di dunia untuk melimpahkan berkah kebijaksanaan-Nya kepada semua makhluk.
Kemudian munculah aliran utama Agama Buddha dan merupakan istilah pembagian filosofi dan ajaran Sang Buddha. Mahayana yang dilahirkan di India. Sebagai tradisi yang masih berada, Mahayana merupakan kumpulan terbesar dari dua tradisi Agama Buddha yang ada hari ini, yang lainnya adalah Theravada. Pembagian ini seringkali diperdebatkan oleh berbagai kelompok. Menurut cara pembagian klasifikasi filosofi Agama Buddha berdasarkan aliran Mahayana. Mahayana merujuk kepada tingkat motifasi spiritual (yang dikenal juga dengan sebutan Bodhisattvayana). Berdasarkan pembagian ini, pendekatan pilihan yang lain disebut Hinayana, atau Shravakayana. Hal ini juga dikenal dalam Ajaran Theravada, tetapi tidak dianggap sebagai pendekatan yang sesuai. Menurut susunan Ajaran Vajrayana mengenai pembagian jalur pengajaran, Mahayana merujuk kepada satu dari tiga jalan menuju pencerahan, dua lainnya adalah Hinayana dan Vajrayana. Pembagian pengajaran dalam Agama Buddha Vajrayana, dan tidak dikenal dalam ajaran Agama Buddha Mahayana dan Theravada.
Aliran Mahayana bercita-cita mencapai kearahatan, kebutuhan seluruh manusia untuk mengupayakan pembebasan dari roda kematian dan kelahiran. Namun yang paling penting dalam Mahayana adalah Pencerahan, kebebasan dari ilusi, dan aspirasi mencapai ke-Buddhaan, dan ini tidak hanya untuk beberapa bhiksu yang bijaksana saja, namun juga untuk seluruh makhluk.  Sedangkan dalam aliran Theravada pencapaian kearahatan di capai oleh individu terlebih dahulu, dan selanjutnya membantu makhluk lain untuk mencapai kebebasan.
Mahayana adalah agama Buddha yang dianut di Asia Utara dan Timur. semua elemen dalam Mahayana mengarah pada kesempurnaan kerakter. Dalam Hinayana, para pengikut Buddha diajarkan bukan untuk menjadi Boddhisatva tetapi arahat. Sedangkan Mahayana ingin menjadikan semua makhluk seperti Sakyamuni, mereka ingin melimpahkan kebahagiaan dari pencerahan, melenyapkan semua penghalang yang melintang di antara Kebuddhaan dan kemanusiaan yang umum. Dalam pencapaiannya seorang Boddhisatva yang ingin mencapai Kebuddhaan harus mengembangkan 6 keutamaan sempurna (Sad Paramita) yang mleiputi Dana, Sila, Kshanti, Viriya, Dyana, dan Prajna. Sedangkan dalam Theravada, seorang yang akan mencapai Pencerahan harus mempraktika 10 keutamaan sempurna (Dasa Paramita) yaitu Dana, Sila, Nekkhamma, Panna, Viriya, Khanti, Sacca, Adhitthana, Metta, dan Upekkha.
Paramita Mahayana dan Paramita Theravada adalah jalan untuk mencapai tujuan yang sama yaitu Pencerahan. Dalam Mahayana hanya terdapat 6 paramita yang dipraktikan sedangkan dalam Theravada 6 paramita ini dikembangkan lebih lanjut kedalam 10 paramita. Walaupun jumlahnya berbeda namun pada dasarnya ke dua parami ini adalah sama dan berhubungan erat. Hal ini karena 10 paramita Theravada dapat dikelompokkan menurut jenis parami ke dalam 6 paramita Mahayana.




B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah dalam makalah ini, sebagai berikut :
1.      Apa Saja Keutamaan Sempurna (Paramita) Dalam Mahayana?
2.      Apa Saja Keutamaan Sempurna (Paramita) Dalam Theravada?
3.      Bagaimana Perbandingan Antara Paramita Dalam Mahayana dan Theravada?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai tugas individu Mata Kuliah “Pengantar Mahayana” yang diampu oleh dosen Sutikyanto Sasanaboddhi S.Ag., M.Pd.B.  dan  Suharno S.Ag., M.Pd.B.  dan tujuan lainnya dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui dan mengerti tentang :
1. Keutamaan Sempurna  (Paramita) Dalam Mahayana.
2. Keutamaan Sempurna  (Paramita) Dalam Theravada.
3.Perbandingan Antara Paramita Dalam Mahayana dan Theravada.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Paramita dalam Mahayana
Konsepsi Mahayana yang pertama adalah Boddhisatva. Seorang Boddhisatva adalah Buddha yang akan datang dan kita semua dalah calon Boddhisatva. Ada dua pandangan tantang Boddhisatva, yang pertama dalam pengertiannya yang lebih luas dan lebih populer sebagai sebutan bagi mereka yang mengambil janji untuk merealisasikan cita-cita mereka di jalan untuk menuju Kebuddhaan. Yang kedua sebagai sebutan bagi mereka yang selalu berusaha keras untuk mencerahkan makhluk-makhluk lain dengan mempraktikkan empat ikrar agung dan paramita-paramita (keutamaan sempurna). Sakyamuni sendiri dahulunya adalah seorang Boddhisatva. Kisah-kisah Jataka mengungkapkan cerita-cerita tentang kehidupannya yang lampau sebagai binatang dan manusia, yang dalam setiap kehidupan selalu mempraktikan kasih sayang dan bekerja untuk makhluk-makhluk lain.
Dalam Hinayana, para pengikut Buddha diajaran bukan untuk menjadi Boddhisatva tetapi Arahat, sedangkan Mahayana menjadikan semua makhluk  seperti Sakyamuni. Perbedaan besar antara Arahat dan Boddhisatva ialah bahwa yang pertama bertujuan untuk mendapatkan pencerahan bagi diri sendiri, sedangkan Boddhisatva ingin menolong semua makhluk menuju pencerahan sepenuhnya. Untuk melakukan ini, walau sudah memenuhi syarat, Boddhisatva dengan sukarela meninggalkan Nirvana, dengan tetap tinggal didunia untuk menolong makhluk, manusia dan binatang.
Langkah pertama dijalan Boddhisatva adalah saat ia mengikrarkan janji-janji yang menurut Shatideva dalam Bodhicharyawatara-nya, terdiri dari:
1. Dosa yang terakumulasi di dalam kehidupan-kehidupanku yang dahulu, yang terakumulasi di dalam semua makhluk, tak terhingga banyaknya dan besar pengaruhnya. Dengan kekuatan apa ia dapat ditaklukkan jikalau bukan dengan keinginan untuk mencapai pencerahan, dengan keinginan untuk menjadi Buddha demi keselamatan manusia? Keinginan yang sama sekali tanpa pamrih ini tak terhingga keramantnya. Ia menutupi banyak sekali dosa. Ini menjamin kebahagiaan sepanjang manjalani lingkaran kehidupan. Ini adalah janji tentang kebahagiaan tertinggi dari para Buddha untuk diri sendiri dan sesama.
2. Saya memuja para Buddha dan Boddhisatva dengan maksud menjalankan ikrar Pencerahan (vandana). Tanpa memiliki suatu apapun, mengingat dosa-dosa saya, bagaimana saya dapat mempersembahkan kepada mereka penghormatan (puja) yang pantas bagi mereka? Saya memiliki sesuatu. Saya memberikan diri saya sendiri sepenuhnya dengan kasih sayang yang tulus kepada para Buddha dan anak-anak mereka, para Boddhisatva yang agung. Saya adalah abdi mereka dan dengan itu tidak ada lagi bahaya-bahaya yang datang dari dosa-dosa saya.
3. Selain cukup bagi diri saya sendiri, hendaklah saya sepenuhnya menjadi milik para Buddha dan semua makhluk. Saya bersukacita dengan perbuatan baik, yang sekaligus mencegah kelahiran kembali dengan kemalangan diantara manusia biasa. Saya bersukacita atas pembebasan yang dicapai oleh para Arahat. Saya bersukacita dalam kemuliaan Buddha dan Boddhisatva, yang dimiliki oleh pelindung dunia (Punyanumodana). Saya memohon kepada para Buddha untuk mengkhotbahkan Dharma demi keselamatan dunia (adhyesana).
4. Saya ingin menjadi roti bagi mereka yang lapar, minuman bagi mereka yang dahaga (parinamana). Saya berikan diri saya, semua yang saya miliki dan yang akan saya miliki dalam kehidupan-kehidupan saya yang akan datang.
Dalam Mahayana terdapat sepuluh tingkatan Boddhisatva, yaitu:
a. Tingkat Kesucian (Pramudita)
Ia merasa bahagia karena berkat hasil perbuatan-perbuatan dan meditasinya, ia dilahirkan dalam keluarga Buddha, ia merasa bahagia karena cinta kasihnya kepada para Buddha dan bahagia karena nyata mengabdikan dirinya, ia juga bahagia karena semangatnya berniat baik kepada semua makhluk dan ikrar yang telah dibuatnya.
b. Tingkat Kemurnian (Vimala)
Tingkatan ini didapatkan oleh Boddhisatva dengan mempraktikan moralitas. Boddhisatva tidak hanya hidup menurut peraturan-peraturan, tetapi juga mendorong orang lain untuk berbuat demikian, melalui ajaran dan contoh. Di sini Boddhisatva menapak di Jalan Mulia Berunsur Delapan.
c. Tingkat Kecermelangan atau Bercahaya (Prabhakari).
Boddhisatva merenungkan hakikat dari segala sesuatu dan melatih kesabaran, yang sesungguhnya berarti menahan diri berhadapan dengan orang-orang dan berbagai hal menurut apa adanya. Kesabaran dan menahan diri merupakan salah satu kebajikan Buddhis yang utama.
4. Nyala Berkobar (Arcismati)
Ini adalah tingkat yang harus dijalankan dengan mempergunakan energi yang terbesar.
5. Tingkat Sulit Ditaklukkan (Sudurjaya)
Pada tingkatan ini meditasi yang paling dominan. Boddhisatva memberikan contoh tentang efisiensi dan pentingnya meditasi. Melalui meditasi kita dapat memahami kebenaran yang membimbing penguasaan Prajna (pengetahuan transendental).
6. Tingkat Mencapai Pembebasan (Abhimukti)
Tingkatan ini di capai setelah melalui tingkatan ke lima. Boddhisatva merupakan makhluk yang sangat tinggi, begitu tingginya sehingga pikiran yang biasa dan relatif tidak dapat mengikutinya.

7. Tingkat Berjalan Jauh (Durangama)
Tingkatan ini mencakup segenap pencapaian dari enam tingkatan sebelumnya, dan membuat inteligensi Boddhisatva berkembang sempurna.
8. Keteguhan atau Tak Tergoyahkan (Acala)
Keteguhan atau Tak Tergoyahkan mempunyai ciiri yaitu memiliki pengetahuan tinggi Anutpattikadharmaksanti. Ini merupakan ketulusam dalam perbuatan, sifat keilahian, suatu keadaan dari kesadaran yang di dalamnya tidak ditemukan konsepsi. Dengan demikian Boddhisatva sudah melenyapkan ide tentang dualitas. Tingkatan ini membuka jalan untuk mencapai tingkat kesembilan.
9. Tingkat Keluhuran (Sadhumati), tingkatan ini dicapai setelah Boddhisatva    berada pada tingatan ke delapan.
10. Tingkat Penabur Kebenaran (Dharmamegha)
Merupakan tingkat tertinggi. Di sini Boddhisatva merealisasikan Samadhi yang terakhir dan para Buddha menahbiskannya.
Bakal Buddha bercita-cita menjadi Boddhisatva yang sempurna, dan dia dapat mencontoh Boddhisatva di tingkat-tingkat yang lebih rendah. Di tingkat pertama ia dapat mengambil langkah yang pertama. Setiap siswa dalam Mahayana yang bercita-cita menjadi Buddha, tidak harus menjadi seorang biksu. Di mana pun berada apabila memiliki tekad dan dapat berikrar di hadapan guru spritualnya. Dipenuhi dengan cinta kasih dan kasih sayang kepada semua makhluk.
Seperti Buddha Gotama, sebelum menjadi Buddha, dalam kehidupannya Beliau selalu menyempurnakan diri dan mengabdikan hidupnya demi kebahagiaan semua makhluk apapun. Mereka tidak akan merasa bahagia kalau ada makhluk lain yang mengalami penderitaan. Berbagai upaya mereka lakukan agar makhluk-makhluk yang menderita dapat diringankan dari beban penderitaan atau terlepas dari Roda Samsara. Sehingga dapat mencapai kesucian mutlak.
Delapan Ruas Jalan Kemuliaan yang diuraikan pada halaman sebelumnya, dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian utama, yaitu: Sila, Samadhi dan Prajna. Dalam Buddhisme Mahayana, dikembangkan lebih lanjut menjadi Enam Paramita (Sad Paramita) atau Enam Perbuatan Luhur, dan merupakan ajaran pertama yang dilakukan oleh para Bodhisattva untuk mencapai pandangan Buddha yang tidak terbatas yaitu Cinta Kasih (maitri/metta), Kasih Sayang (karuna), Simpati (mudita) dan Keseimbangan Batin (upeksa/upekkha).
Dengan demikian tindakan seorang Bodhisattva haruslah benar-benar terlepas dari semua kepentingan atau kebanggaan pribadi, tanpa ikatan, tanpa batas, tanpa henti dan tanpa perbedaan dalam membantu semua makhluk yang memerlukan pertolongan. Tindakan seorang Bodhisattva, dapat disamakan dengan matahari yang menyinari bumi ini, tanpa membeda-bedakan, tanpa ikatan, tanpa batas, tanpa henti, dan tidak pernah membanggakannya atau mengakui pahalanya.
 Adapun dalam pelaksanaan paramita ini dapat dibagi dalam tiga tingkatan sebagaimana tersebut dalam Lankavatara Sutra, yaitu :
I. Tingkat Biasa merupakan suatu pelaksanaan paramita dengan harapan untuk memperoleh pahala baik pada masa kehidupan saat ini maupun pada kehidupan berikutnya.
II. Tingkat Luar biasa, merupakan suatu pelaksanaan paramita dengan tujuan untuk mencapai nirvana, untuk tidak dilahirkan kembali.
III. Tingkat Tertinggi, merupakan suatu pelaksanaan paramita oleh para Bodhisattva dalam usahanya untuk menyelamatkan semuat makhluk dari lingkaran penderitaan (samsara).
Enam Paramita terjalin sebagai satu kesatuan, karena pengaruh dari ajaran Asanga (pendiri Yogacara) sebagaimana disebutkan dalam Mahayana Sutralankara dengan urutan : dana-sila-ksanti-virya-dhyana-prajna
1. Dana Paramita
Dana Paramita merupakan perbuatan luhur tentang beramal, berkorban baik materi maupun non-materi. Dana paramita ini dapat digolongkan lagi atas : Dana, Atidana (yang lebih tinggi) dan Mahatidana (yang tertinggi). Para penerima Dana dapat dibagi atas tiga kategori, yaitu
a) Dana kepada teman dan keluarga
b) Dana kepada yang membutuhkan, yang miskin, yang menderita dan yang tidak berdaya
c) Dana kepada para bhikshu/bhikkhu dan para brahmana (orang suci Hindu). Dana yang diberikan adalah merupakan milik kekayaan.
Dana yang dapat dilakukan orang-orang biasa, baik yang hidup berkeluarga (umat biasa dan Upasaka-Upasika) maupun yang hidup tidak berkeluarga (bhikkhu-Bhikkhuni) adalah:
1. Atidana adalah merupakan suatu pemberian dana dimana merupakan miliknya yang terakhir dengan tujuan pemupukan kebajikan untuk mengatasi kemelekatan terhadap rasa cinta yang dapat dianggap sebagai penghambat menuju jalan Kebuddhaan, sehingga menimbulkan kepribadian yang luhur. Contoh pelaksanaan Atidana dikisahkan dengan baik dari cerita Raja Visvantara yang dikutip dari Jatakamala dan Avadana Kalpa Lata.
2. Amisedana, yaitu dana dalam bentuk materi (benda) yang kita berikan kepada orang-orang yang membutuhkan, misalnya uang, keperluan hidup dan makanan.
3. Dhammadana, yaitu dana dalam bentuk bathin, memberikan khotbah Dhamma, memberikan nasehat-nasehat kepada seseorang sesuai dengan Ajaran Sang Buddha. Menurut kitab suci Prajna Paramita dikatakan, bahwa pemberian Dhamma melebihi segala macam pemberian lainnya.
4. Dana yang dapat dilakukan oleh orang-orang suci, yakni Sotapanna, Sakadagami, Anagami, Arahat dan Bodhisattva adalah: 
5. Manatidana, Pengorbanan jiwa-raga seseorang untuk kepentingan/ kebahagiaan orang (makhluk) lain yang sedang menderita. Misalnya dalam cerita dongeng mengenai Bodhisattva Avalokitescara dan pada cerita Jataka.
Dalam berdana ada 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan :
a. Pikiran Ikhlas, senang dan bahagia. Dalam Dharma disebutkan ada 3 (tiga) kondisi yang harus diperhatikan, yaitu sebelum memberi, saat memberi dan setelah pemberian tersebut dilakukan hendaknya pikiran bersih, penuh keikhlasan dan tidak ada penyesalan. Minimal dari tiga kondisi tersebut setelah memberi kita harus bahagia dan tidak boleh menyesal atas apa yang telah kita lakukan. Kalau sebelum memberi kita bahagia, saat memberi kita bahagia namun setelah memberi kita menyesal. Hal ini seperti orang yang hidup pada masa kecil dia mengalami kebahagiaan, saat remaja/ dewasa pun dia tetap bahagia. Namun memasuki usia tua dia mengalami penderitaan dan tidak bahagia.
b. Barangnya harus bersih, barang tersebut diperoleh dengan cara sesuai dengan Dharma dan bersih dari segala tindakan melawan hukum atau merugikan makhluk lain. Kadang ada orang yang punya kemauan memberi namun barangnya dari hasil mata pencahariaan yang salah, seperti barang hasil pencurian. Ini pun bukan dana yang bersih.
c. Berdana kepada orang suci. Berdana kepada orang yang suci, nilai kebajikannya lebih tinggi ketimbang orang biasa. Dalam ukuran kebaikan disebutkan bahwa berdana kepada hewan kebajikannya 100 kali, berdana kepada manusia memiliki moral tidak baik 1.000 kali lipat. Dana diberikan kepada manusia yang bermoral 100.000 kali lipat. Jasa kebaikannya akan terus melipat 100 kali sampai pada berdana kepada Buddha.
2. Sila Paramita
Sila Paramita merupakan perbuatan luhur tentang hidup bersusila, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik oleh badan (kaya), ucapan (vaci), dan pikiran (citta). Pelaksanaan Sila Paramita merupakan pelengkap dari seorang Bodhisattva yang telah melaksanakan Dana Paramitha. Pelaksanaan Sila Paramita ini dapat diumpamakan kaki ataupun mata,  tanpa kaki maka seseorang akan terjatuh ke dalam bentuk kehidupan yang penuh kejahatan, ataupun tanpa mata maka seseorang tidak akan dapat melihat Dharma. Terdapat tiga pengertian dalam menguraikan Sila Paramita, yaitu Kebajikan moral secara umum yang mana kepribadian menganggumkan merupakan ciri utamanya, Kebajikan moral yang dikaitkan dengan suatu cita-cita penyucian yang direalisasikan melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan, Kebajikan moral yang dikaitkan dengan lima ajaran moral (Pancasila Buddhis) dan sepuluh jalan tindakan yang baik dan bermanfaat dan merupakan latihan moral kebajikan bagi umat awam.
Pelaksanaan Sila merupakan suatu usaha seorang Bodhisattva untuk memusnahkan seluruh tiga akar kesengsaraan atau tiga racun dunia, yaitu: raga yang dapat dianggap sebagai persamaan kata lobha yaitu hawa nafsu, gairah, kesenangan perasaan. dvesa (dosa) yaitu kebencian, keinginan buruk moha yaitu kebodohan batin, khayalan, kebingungan mengenai pikiran.
Dalam melatih Sila Paramita, maka terdapat sepuluh pantangan yang harus dijalankan seorang Bodhisattva, yaitu : Pantang membunuh makhluk hidup, pantang mencuri, pantang dari ketidak-sucian, pantang berbicara bohong, pantang memfinah, pantang berbicara kasar, pantang terhadap kesembronoan dan berbicara yang tidak berarti, pantang terhadap sifat iri hati, pantang terhadap sifat dengki, pantang dari pandangan salah.
3. Ksanti Paramita
Ksanti merupakan suatu perbuatan luhur tentang kesabaran. Ksanti Paramita mencakup tiga pengertian, yaitu, kesabaran, ketabahan, dan ketulusan hati. Seorang Bodhisattva haruslah melatih kesabaran karena ketidaksabaran akan mudah menimbulkan kemarahan dimana dapat menghancurkan semua pemupukan kebajikan yang telah terhimpun. Ketidaksabaran dalam bertindak sering menenggelamkan kita dalam lautan penderitaan yang menyebabkan penyesalan yang berkepanjangan.
Bakal Buddha tidak pernah mengembangkan kemarahan, tidak sabar, atau bergejolak atas apa yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh, karena dia selalu menyadari dengan pikirannya bahwa semua persoalan pasti bertolak dari sebab-sebabnya.
4. Virya Paramita
Virya Paramita merupakan perbuatan luhur mengenai keuletan, ketabahan dan semangat. Untuk menapak Jalan diperlukan semangat dan usaha yang tekun, tidak memberikan kesempatan pada kelemahan dan keputusasaan, tidak menjadi terikat pada kesenangan-kesenangan duniawi, dan tetap menjaga kuat kebulatan tekadnya. Terdapat dua macam Virya, yaitu : Sannaha-virya, yang dapat diartikan memakai perisai dalam arti mempersiapkan diri terhadap berbagai godaan. Prayoga-virya, yang dapat diartikan dengan ketekunan dan kesungguhan dalam pelaksanaan ajaran Sang Buddha .
 5. Dhyana Paramita
Merupakan melatih ketenangan pikiran, perenungan atau meditasi. Agama Buddha memiliki banyak sistem meditasi dalam Mahayana khususnya. Metode apapun yang dipilih bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan murni, yang akan menolong kita menempuh perjalanan dan mempersiapkan untuk merealisasikan Paratmasamata, pengetahuan tentang persamaan diri sendiri dan sesamanya dan menukar diri sendiri dengan sesamanya, yang sesungguhnya merupakan realisasi dari ketiadaan-ego dan kemanunggalan Dharmakaya.
Terdapat 4 jenis Dhyana sebagaimana dinyatakan dalam ajaran Yogacara, Lankavatara Sutra, yaitu :
a)  Balopacarika Dhyana, dhyana yang dilakukan oleh Sravaka dan Pratyeka Buddha dengan merenungkan tentang ketidak-kekalan dari sifat ke-aku-an.
b)  Artapravicaya Dhyana, dyana yang dilaksanakan oleh para Bodhisattva yang telah mengerti hakekat Keberadaan dari alam semesta.
c) Tathatalambana Dhyana; dhyana yang terdiri dari pengkajian atas Keberadaan dari Kebenaran serta merenungkannya.
d) Tathagata Dhyana; dhyana yang dilaksanakan oleh para Tathagata yang telah mengetahui Pengetahuan yang Tertinggi dan selalu bersedia untuk mengabdi kepada semua makhluk.
6. Prajna Paramita
Prajna Paramita merupakan Paramita yang terpenting; yaitu perbuatan luhur mengenai Kebijaksanaan.  Prajna paramita merupakan keutamaan yang tertinggi, meskipun untuk mencapainya semua paramita yang lain harus dilaksanakan bersama-sama. Memiliki paramita ini sacara lengkap sama dengan mencapai Nirvana.
Terdapat dua makna dalam Prajna, yaitu : (1) Prajna yang kekal. (2) Prajna yang berfungsi sejalan dengan ke lima Paramita lainnya. Usaha pengembangan prajna ini terdapat tiga jalur yang mengarah kepada suatu pendalaman (intuisi) dan pengetahuan, yaitu : berdasarkan ajaran orang lain atau kitab suci tertulis ataupun lisan (sutamaya panna), berdasarkan pemikiran yang mendalam (cintamaya panna), dan berdasarkan meditasi pengolahan dan realisasi (bhavanamaya panna).

Selain Enam Paramita tersebut di atas, terdapat juga Empat Paramita tambahan, yaitu :
1. Upaya-Kausalya Paramita, merupakan kemahiran dalam perbuatan atau adaptasi dari usaha usaha untuk perubahan guna memberikan pertolongan secara luhur
2. Pranidhana Paramita, yaitu aspirasi atau resolusi luhur
3. Bala Paramita, yaitu kekuatan atau kemampuan luhur
4. Jnana Paramita, yaitu pengetahuan luhur
Dari keempat paramita yang paling penting adalah Upaya. Boddhisatva dikatakan menggunakan setiap cara atau jalan yang sangat memungkinkan  untuk membimbing makhluk-makhluk menuju pencerahan. D.T Suzuki dalam Outlines of Mahayana Buddhism menjelaskan bahwa Upaya berarti jalan yang berguna sekali, taktik, alat, atau keterampilan yang mempunyai pengertian teknis dalam agama Buddha.
Untuk mencapai Bodhi, Bodhisattva selain melaksanakan dan menyempurnakan Paramita juga melaksanakan 37 faktor, yang merupakan keseluruhan Ajaran Sang Buddha (Bodhipakkhiyadhamma), yaitu:
·           Empat Dasar Perhatian Benar (Satipatthana)
·           Empat Usaha Benar (Sammapadhana)
·           Empat Jalan Penguasaan atau Keberhasilan (Iddhipada)
·           Lima indera (Indriya)
·           Lima kekuatan mental (Bala)
·           Tujuh faktor Penerangan Agung (Bojjhanga)
·           Delapan Faktor Jalan Utama (Asta Ariya Atthangika Maggha)
Dengan menempuh dan menyempurnakan Dharma ini semua, Bodhisattva ini akan bergelar Mahasattva, mencapai Tingkatan Dasa Bhumi sebagai Megha Dharma sampai akhirnya mencapai Anuttara SamyakSamBuddha. Demikianlah Mahayana yang telah ditunjukkan dan telah dibuktikan sendiri oleh Sang Tathagata. Mahayana merupakan Yana Tunggal yang menjadi alasan utama kemunculan Para Tathagata, yakni mengajar Para Bodhisattva dan memang demikianlah adanya.
B. Paramita dalam Theravada
Dasa  Paramita berasal dari kata Dasa dan Paramita, dasa artinya sepuluh, sedangkan Paramita berasal dari istilah Parami dari kata parama yang artinya menyatakan pada kesucian, pelaksanaan yang mulia atau agung. Paramita merupakan faktor yang perlu dikembangkan untuk mencapai kesucian. Semua Buddha, sebelum mereka mencapai kebuddhaan, melaksanakan paramita ini dengan sempurna. Kesepuluh Paramita dalam Theravada, antara lain:
 1. Dana-Paramita adalah kesempurnaan beramal.
Dana ini dibagi menjadi empat yaitu 1) Amisedana adalah dana yang diberikan dalam bentuk materi, atau barang seperti uang, pakaian, bahan kebutuhan pokok, dsb, 2) Dhammadana yaitu beramal kebajikan yang diberikan dengan melaksanakan dan memberikan penerangan dhamma melalui kotbah. Dhammadesana merupakan amal kebajikan atau dana yang tertinggidan paling besar jasa dan pahalanya. Buddha bersabda “Sabbadanam Dhammadanam Jinati” artinya pengorbanan dan amal kebajikan yang tertinggi adalah persembahan kebenaran dhamma. 3) Atidana yaitu mengorbankan ke kepentingan diri sendiri untuk mencapai cita-cita yang luhur, demi kepentingan umat manusia, contohnya usaha Pangeran Siddharta. 4) Mahatidana yaitu amal kebajikan berupa pengorbanan jiwa  dan raga untuk mencapai cita-cita luhur, contohnya para pahlawan. (donor darah, ginjal, kornea mata, sum-sum tulang).
Seseorang rela dan ikhlas membantu siapa saja yang membutuhkan, dengan penuh tekad dan berkata “Semoga aku senantiasa mencari siapa yang bisa kubantu. Semoga aku memberi untuk mengikis keAkuan.
2. Sila-Paramita adalah kemoralan, hidup dengan melaksanakan sila, hidup bersusila, melakukan perbuatan, ucapan dan mata pencaharian benar.
Ada beberapa tingkatan sila, sesuai dengan orang yang melaksankannya, yaitu Pancasila Buddhis yaitu sila yang dilaksanakan oleh upasaka dan upasika dalam kehidupan sehari-hari. (sila umat awam), Atthasila yaitu sila yang dilaksanakan oleh upasaka dan upasika pada hari-hari tertentu contohnya pada bulan gelap dan bulan terang, tanggal 1 dan 15 menurut lunar kalender. Dasasila dan Majjhimmasila yaitu sila yang dijalankan oleh Samanera dan Samaneri. Patimokhasila yaitu sila utama yang tertinggi tingkatannya dibadingkan sila lainnya.
Menurut naskah pali, bagi mazab Theravada terdiri dari 227 sila dan menurut naskah sansekerta, untuk Bhikkhu mazab Mahayana terdiri dari 250 Sila. Seseorang yang melaksanakan sila harus mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku santun dan tidak merugikan pihak lain. Semoga aku terkendali dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan”.
 3. Nekkhamma-Paramita adalah kesempurnaan melatih penolakan, yaitu penolakan napsu indera.
Sebagai umat Buddha sedapat mungkin mengendalikan indria kita. Nafsu kalau di turuti tidak ada puas-puasnya. Mengendalikan mata, mengendalikan telinga dan sebagainaya. Seseorang yang melatih penolakan harus mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku mengutamakan kepentingan pihak lain. Semoga aku tak lekat pada yang buruk maupun pada yang baik”.


 4. Panna-Paramita adalah kesempurnaan melatih kebijaksanaan.
Kebijaksanaan untuk mengetahui sebab dan akibat, mengerti keadaan dan sesuatu berdasarkan kebenaran. Melihat proses kehidupan ini dengan bijak, misalnya melihat keadaan diri kita atau orang lain yang menderita tanpa menyalahkan siapapun.
Seseorang yang melatih kebijaksanaan harus mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku penuh kesadaran dan pemahaman jernih. Semoga aku piawai dalam membantu pihak lain”.
 5.Viriya-Paramita adalah kesempurnaan melatih usaha (semangat).
Berusahan dengan sekuat tenaga, tidak takut akan rintangan. Rintangan adalah sebagai cambuk untuk maju. Semangat adalah modal untuk menjalani hidup ini, bekerja keras. Seseorang yang melatih usaha semangat harus mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku giat berjuang untuk mencapai tujuan mulia. Semoga aku tak gentar menghadapi segala rintangan”.
 6. Khanti-Paramita adalah kesempurnaan melatih kesabaran.
Sabar dalam menghadapi segala sesuatu. Mampu mengendalikan pikiran, sehingga kita bebas dari kekotoran batin. Seseorang yang melatih kesabaran harus mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku mampu menanggung kekeliruan pihak lain. Semoga aku melihat sisi baik dari segala sesuatu”.
 7. Sacca-Paramita adalah kesempurnaan melatih kebenaran (kata-kata, perbuatan, dan pikiran).
Seseorang yang melatih kebenaran ini harus mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku tidak menyembunyikan kebenaran. Semoga aku tulus dan dapat dipercaya”.
 8. Adhitthana-Paramita adalah kesempurnaan melatih kehendak dengan mantap (memutuskan sesuatu dan selesai berbuat sesuatu pada waktunya).
Seseorang yang melatih kehendak dengan mantap ini harus mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku terus berpegang teguh pada kebenaran. Semoga aku lembut bagai bunga dan kokoh bagai karang”.
 9. Metta-Paramita adalah kesempurnaan melatih cinta-kasih.
Dimana cinta kasih tanpa keinginan memiliki, cinta kasih yang ditujukan kepada semua makhluk (31 alam kehidupan) tanpa membedakan bangsa, ras, agama dan sebagainya (cinta kasih yang universal). Seseorang yang melatih cinta kasih harus mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku mengasihi tanpa pilih kasih. Semoga aku bahagia dan membawa kebahagiaan bagi pihak lain”.
10. Upekkha-Paramita adalah kesempurnaan melatih keseimbangan batin.
Menjaga batin agar tak tergoyahkan, batin yang terarah pada kebenaran Dhamma. Titik keseimbangan, tidak terpengaruh pada hal yang positif maupun yang negatif. Seseorang yang melatih keseimbangan batin harus mengatakan dalam hati dan penuh tekad bahwa “Semoga aku memperlakukan semua makhluk dengan setara. Semoga aku teduh dan seimbang dalam segala keadaan”.
C. Perbandingan Antara Paramita Mahayana dan Theravada
Telah dijelaskan di atas bahwa untuk mencapai Pencerahan seseorang harus mempraktikan paramita-paramita (keutamaan sempurna) dalam menjalani kehidupan. Dalam Mahayana terdapat 6 paramitta sedangkan dalam Theravada terdapat 10 paramita. Kedua paramitta Mahayana dan paramita Theravada adalah cara atau jalan dengan tujuan yang sama yaitu mencapai Pencerahan. Hanya saja jumlah atau banyaknya cara yang harus dilaksanakan berbeda.
Dalam Theravada, Boddhisatva yang ingin mencapai Pencerahan, ia menolong dirinya sendiri terlebih dahulu yang kemudian membantu makhluk-makhluk lain untuk mencapai Pencerahan. Sedangkan Mahayana, Boddhisatva menolong makhluk-makhluk lain dan membawa mereka menuju pencerahan sepenuhnya. Sehingga Boddhisatva dengan sukarela meninggalkan Nirvana dan tetap tinggal di dunia untuk menolong semua makhluk, manusia dan binatang.
Paramita Theravada merupakan pengembangan yang lebih luas dari paramita Mahayana. Paramita Mahayana meliputi Dana, Sila, Kshanti, Viriya, Dyana, dan Prajna. Sedangkan paramita Theravada meliputi Dana, Sila, Nekkhamma, Panna, Viriya, Khanti, Sacca, Adhitthana, Metta, dan Upekkha. Sila-Paramita dalam Mahayana merupakan ringkasan sifat luhur dari pengembangan Nekkhamma, Panna dan Sacca dalam Paramita Theravada. Hal ini karena penolakan nafsu-nafsu indera (Nekkhamma) dapat dilakukan dengan menjalankan sila yang sempurna dan secara otomatis akan melatih kebenaran baik dalam ucapan, tindakan maupun pikiran seperti dalam Pancasila Buddhis maupun Atthanga Sila. Setelah menjalankan sila maka kebijaksanaan (Panna) pun juga akan ikut terlatih. 
Dalam Adhitthana-Paramita Theravada dapat dimasukan lebih rinci ke dalam Viriya Paramita Mahayana. Viriya adalah semangat dan usaha yang tekun, tidak memberikan kesempatan pada kelemahan dan keputusasaan dan menjaga kuat-kuat kebulatan tekadnya. Sedangkan Adhitthana adalah kesempurnaan melatih kehendak dengan mantap. Sehingga arti dari kedua paramita ini adalah sama. Sedangkan Dyana Paramita Mahayana dapat dikembangkan menjadi Metta-Paramita dan Upekkha-Paramita Theravada. Dyana adalah perenungan dan meditasi, yang mana dalam meditasi terdapat banyak sekali obyek meditasi salah satunya adalah Empat appamanna (keadaaan yang tidak terbatas) yang meliputi :
a. Metta adalah cinta kasih yang universal
b. Karuna adalah belas kasih
 c. Mudita adalah perasaan simpati
d. Upekkha adalah keseimbangan batin
Sehingga seorang Boddhisatva dapat mengembangkan Dhyana paramita ke dalam obyek perenungan atau meditasi yaitu Metta dan Upekkha. Jadi ke 10 parami dalam Theravada dapat dikelompokan kedalam parami masing-masing dalam Mahayana.
Dijelaskan juga bahwa motif dan dasar bagi seseorang menjadi calon Buddha/ Bodhisatta adalah Mahakaruna dan Upaya-kosala (upaya-kausalya/kemahiran). Maka dalam Mahayana ditemukan 4 paramita lagi:
a.         Upaya-kausalya paramita;
b.        Pranidhana paramita;
c.         Bala paramita;
d.        Jnana paramita.
Jadi, sebenarnya 10 paramita baik dalam Ttheravada maupun Mahayana tidaklah bertentangan sama sekali karena terbukti berhubungan erat dan dapat saling menjelaskan satu sama lain.
10 Parami ini dikatakan sebagai pendukung dan penyebab seseorang mencapai Swasyambhu-nana (kemahatahuan), sehingga memungkinkan dirinya satu saat nanti mencapai pembebasan dengan usaha sendiri, tanpa seorang guru (arahat sammasambuddha). Dan untuk mencapai ke-Buddhaan diperlukan penyempurnaan parami ini selama minimal 4 asankheya dan 100.000 kappa.
Dalam Theravada, proses perjalanan Bodhisatva diukur dengan 10 parami itu, yang disempurnakan satu-per-satu sesuai urutannya. Sedang dalam Mahayana, dikenal Dasa-Bodhisattva-Bhumi (10 tingkat ke-Bodhisattvaan) bahkan dalam Shurangama sutra ada tahap-tahap sebelum dasa-bhumi yang totalnya berjumlah 52 tahap (42 + dasa bhumi).
Mahayana berpendapat proses ini minimal 3 asankheya dan 100.000 kalpa, 1 asankheya pertama untuk mulai dari nol mencapai puncak Bhumi-pertama, asankheya kedua untuk Bhumi ke-2 sampai Bhumi ke-8, dan asankheya ke-3 untuk sampai Bhumi ke-10, 100.000 kalpa untuk melengkapi ke-32 ciri-fisik agung dan 80 tanda-minor.
Namun, secara waktu "relatif". Bagi Bodhisattva, 1 asankheya kalpa dapat menjadi 1 minggu bahkan 1 hari dan 1 hari menjadi (sama seperti) 1 asankheya. Shurangama sutra mengatakan, bila kita dapat melihat hakikat sejati kita, bahwa pikiran ini pada dasarnya adalah Buddha, maka tidak perlu asankheya kalpa, kita dapat mencapai ke-Buddhaan dengan lebih cepat.
Lebih lengkap lagi, teknik mencapai kebuddhaan dalam 1 kehidupan, yang merupakan teknik rahasia, dijabarkan dalam ajaran Vajrayana atau Tantra. Namun tidak semua praktisi Tantra mencapai keBuddhaan dalam 1 kehidupan, jarang sekali ada yang bisa. Pada kenyataannya mereka pada kehidupan sebelumnya sudah mulai memupuk karma baik, bahkan mengumpulkan parami.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan isi makalah maka penyusun dapat mengambil kesimpulan bahwa Paramita (Keutamaan Sempurna) merupakan cara atau jalan untuk melenyapkan dukha yang terdiri dari jalan beruas delapan. Dalam Mahayana terdapat 6 sifat luhur (sad paramita) yang harus selalu dipraktikan bagi seorang Boddhisatva. Tujuan Agama Buddha Mahayana adalah pencerahan batiniah yang melampaui keduniawian, tanpa pencerahan sama seperti orang buta yang sedang meraba-raba kegelapan. Dan ketika pencerahan terjadi, belas kasih mengalir keluar, manusia pasti belajar mencintai sesamanya. Sehingga untuk mencapai pembebasan, Boddhisatva menolong dan membantu makhluk lain dan kemudian menolong dirinya sendiri. Sedangkan dalam Theravada, Boddhisatva menolong diri sendiri terlebih dahulu baru kemudian menolong makhluk lain. Untuk mencapai Pencerahan, Boddhisatva harus mempraktikan 10 sifat luhur (Dasa Paramita).
Jadi pada dasarnya jalan atau cara yang harus dipraktikan bagi seorang Boddhisatva untuk mencapai Pencerahan adalah sama, baik dalam paramita Mahayana dan paramita Theravada. Parami dalam kedua aliran ini tidaklah bertentangan sama sekali karena terbukti berhubungan erat dan dapat saling menjelaskan satu sama lain.
B.     Saran
Demikianlah makalah ini ditulis sesuai dengan referensi yang telah penyusun peroleh, diharapkan setelah membaca dan mempelajari makalah ini para pembaca dapat memahami dan mengetahui bahkan mendapat wawasan yang lebih luas mengenai perbandingan antara paramita Mahayana dan paramita Theavada.


DAFTAR PUSTAKA


Hustiati, Wijaya Mukti, Krisnanda. 2009. Agama Buddha Mahayana. Beatrice Lane Suzuki
Priastana Jo, Dhammasukha. 1999. Pokok-Pokok Dasar Mahayana. Jakarta: Yayasan Yasodhara Puteri
Vinara, 2008. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta: Cv. Santusita





Tidak ada komentar:

Posting Komentar